Jumat, 18 Desember 2009

Anomali Ruang Publik Media

Oleh Agus Sudibyo

“Ruang publik sebagai potensi demokratis media akan tenggelam saat rasionalitas birokrasi atau rasionalitas modal mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media.”

Pernyataan Robert McChesney dalam buku Corporate Media and The Threat to Democracy, Seven Stories Press, The Open Media Pamphlet Series, 1997, itu menjadi titik awal untuk meninjau situasi terkini media di Indonesia.

Reformasi sistem media nasional selama satu dekade terakhir tidak otomatis membuat praktik produksi, orientasi, dan kecenderungan politik media kian didasarkan pada prinsip-prinsip keutamaan publik. Reformasi itu juga belum berujung pada lahirnya ruang publik ideal, yang relatif otonom dari dominasi rasionalitas modal maupun birokrasi, dan mampu menggerakkan diskursus sosial yang berkualitas, deliberatif, dan mempunyai signifikansi bagi nilai kewargaan.

Reformasi sistem media itu belakangan mengalami anomali. Praktik bermedia dan perubahan kebijakan media kian menunjukkan gejala rekolonialisasi ranah media oleh imperatif-imperatif ekonomi atau birokrasi. Terutama pada media penyiaran, subsistem rasionalitas ekonomi pasar dan subsistem administratif negara secara sistemik mendeterminasi hampir semua aspek media: perizinan, permodalan, orientasi produksi, distribusi, dan relasi dengan masyarakat.

Rekomersialisasi

Kebebasan media belum tentu identik dengan kebebasan khalayak untuk mendapatkan informasi berkualitas. Kebebasan itu juga diinterpretasikan sebagai kebebasan mendirikan media. Kini mudah didapat semua media, mulai dari yang menyajikan diskursus sosial-politik hingga yang menggeluti gosip selebriti, cerita gaib, ramalan nasib, atau bisnis ”esek-esek”. Kebebasan media direduksi sebagai kebebasan memproduksi informasi tanpa mempertimbangkan relevansi dan kelayakannya.

Matra komodifikasi tanpa batas tampaknya berlaku di media, terutama televisi, semua hal praktis diperlakukan sebagai komoditas. Tanpa peduli yang esensial maupun yang artifisial, yang sacred maupun profan, semua disajikan berdasarkan psikologi budaya populer. Di layar televisi, wilayah dunia kehidupan, budaya, seni, moralitas, bahkan agama, harus tunduk pada mekanisme pencitraan yang berorientasi pada tampilan serba populer, dramatis, dan sensasional.

Ruang media pertama-tama adalah ruang komersial, bukan ruang publik yang selalu menuntut kelayakan. Namun, rekomersialisasi ruang media ini mendapatkan legitimasi hukum. PP Penyiaran Nomor 49, 50, 51, 52 Tahun 2005 sebagai ketentuan pelaksana UU Penyiaran mengarahkan penyiaran Indonesia menuju sistem yang hampir sepenuhnya komersial. Regulasi kepemilikan media, permodalan, jaringan media, perizinan, dan isi siaran amat berpihak pada kepentingan penyiaran komersial. Tak terlihat lagi orientasi pelembagaan sistem penyiaran yang berpihak pada kepentingan berbasis komunitas atau publik, yang mengakomodasi pengembangan potensi lokal.

Rebirokratisasi

Paket PP Penyiaran itu juga memberi dasar bagi proses rebirokratisasi media penyiaran, dengan meneguhkan kembali kedudukan pemerintah, khususnya Depkominfo sebagai regulator penyiaran. Dengan menegasikan KPI sebagai regulator penyiaran menurut UU Penyiaran No 32/2002, pemerintah membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk kembali mengintervensi dunia media.

Tren rebirokratisasi ranah media juga tecermin dalam rencana amandemen UU Pers. Draf RUU Pers pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pers tidak benar-benar bertujuan menciptakan ruang publik media yang demokratis, tetapi lebih berorientasi mengembalikan otoritas pemerintah dalam mengatur segi-segi kehidupan media. Kecenderungan legislasi bidang media mencerminkan politik kontrol dan pembatasan, dengan menghidupkan kembali mekanisme sejenis SIUPP, bredel, dan pengaturan lisensi profesi jurnalistik.

Perubahan regulasi bidang media tidak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menyerahkan urusan publik kepada publik guna mengeliminasi determinasi sistem bisnis dan birokrasi terhadap ruang publik. Perubahan regulasi justru memfasilitasi gerak rebirokratisasi dan rekomersialisasi ruang publik media.

Pada ranah penyiaran, pemerintah dan industri media sama- sama terancam reformasi kebijakan yang secara garis besar hendak menyerahkan kendali regulasi penyiaran kepada publik. Yang terjadi adalah simbiosis mutualisme. Regulasi pemerintah di bawah UU Penyiaran tidak dimaksudkan memperkuat kedudukan publik vis a vis industri media, tetapi untuk menjamin establishment kepentingan bisnis penyiaran. Sebaliknya, industri penyiaran melegitimasi kedudukan pemerintah sebagai regulator media. Industri televisi nasional tidak melakukan perlawanan saat PP Penyiaran meneguhkan intervensi pemerintah terhadap media penyiaran.

Reorganisasi rasionalitas modal dan rasionalitas birokrasi inilah kendala utama untuk mengembalikan karakter media sebagai institusi sosial saat ini. Praktik bermedia lebih ditentukan matra komodifikasi dan pengendalian, bukan matra pemberdayaan. Jika tren ini terus berlanjut, pembentukan watak kultural masyarakat melalui media kian tidak ditentukan oleh prinsip kewargaan, tetapi reifikasi terhadap sistem ekonomi dan politik yang dominan.

Agus Sudibyo

Masa Depan TVRI dan Pragmatisme Politik


Oleh: Agus Sudibyo

Dua puluh empat Agustus 2004, Televisi Republik Indonesia (TVRI) akan berulang tahun ke 42. Namun ini bukan saat yang tepat untuk merayakannya dengan perayaan yang gegap-gempita. Kita justru perlu merenung dan prihatin karena hingga sekarang belum jelas benar mau dibawa kemana masa depan stasiun televisi tertua dan terbesar di Indonesia itu, di tengah pertumbuhan stasiun televisi swasta komersial yang begitu dramatis belakangan ini.

Membaca sejarah TVRI adalah membaca institusi publik yang senantiasa rentan terhadap intervensi politik. Tarik-menarik kepentingan yang melibatkan kekuatan-kekuatan politik dominan, senantiasa membatasi ruang-gerak TVRI untuk menjadi lembaga penyiaran yang benar-benar mengabdi kepada kemaslahatan publik. Di era Orde Lama, TVRI adalah perangkat propaganda untuk menopang nasionalisme dan demokrasi terpimpin ala Soekarno. Di era Orde Baru, TVRI adalah perangkat politik untuk memaksakan konsensus-konsensus nasional tentang pembangunan, stabilitas politik dan persatuan bangsa yang banyak menguntungkan Golongan Karya sebagai the ruling party.

Status TVRI

Bagaimana nasib TVRI pasca reformasi 1998? TVRI sejauh ini masih tetap teralienasi dari fungsi-fungsi ideal sebuah lembaga penyiaran milik masyarakat. Problem utama TVRI adalah belum adanya ithikad baik dari pemerintah untuk melepaskan TVRI dari beban-beban politik dan beban-beban ekonomi, yang tidak semestinya dilimpahkan kepada lembaga penyiaran milik masyarakat.

Selain itu, sulit mengharapkan reformasi dan reposisi dalam tubuh TVRI karena pemerintah sebagai pemegang kontrol atas institusi tersebut menunjukkan sikap yang ambigu dan inkonsisten. Dapat dilihat misalnya, berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan status dan manajemen TVRI beberapa tahun terakhir saling tumpang-tindih dan justru menciptakan konflik-konflik baru antar berbagai lembaga dan kelompok masyarakat yang merasa berkepentingan terhadap masa depan TVRI.

Pasca pergantian kekuasaan 1998, ada upaya-upaya untuk mengubah TVRI menjadi lebih provit oriented. Perubahan ini dianggap tak terelakkan karena TVRI tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada subsidi pemerintah dan harus bisa bersaing dengan televisi swasta. Dalam kerangka inilah, 16 April 2003, Pemerintah meresmikan perubahan status TVRI dari perusahaan jawatan (perjan) menjadi perseroan terbatas (PT). Keputusan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 9/2002 tentang pengalihan status TVRI dari perusahaan jawatan menjadi Perusahaan Perseroan (perseroan terbatas).

Persoalan serius muncul kemudian, ketika UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 (pasal 14) secara tegas menetapkan status TVRI (dan RRI) sebagai lembaga penyiaran publik. Merujuk pada klausul ini, TVRI sebagai lembaga penyiaran publik seharusnya berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Perubahan status menjadi perseroan terbatas dengan demikian bertentangan dengan proyeksi TVRI sebagai lembaga penyiaran publik.

Status perseroan terbatas akan menimbulkan banyak konsekuensi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip lembaga penyiaran publik. TVRI mau tak mau akan berorientasi pasar, dengan konsekuensi harus menonjolkan tayangan-tayangan yang dapat menghasilkan rating tinggi, menarik iklan sebanyak-banyaknya, serta menghasilkan akumulasi modal secepat mungkin. Ketika TVRI sepenuhnya bersandar pada pendapatan iklan, kepentingan-kepentingan yang berbasis publik dan komunitas tak akan mendapatkan prioritas memadahi.

Pemerintah meloloskan dua kebijakan yang saling bertentangan dalam mengatur status TVRI. Dan semakin sulit dipahami bahwa pemerintah terkesan membiarkan dualisme status TVRI ini berlarut-larut. Kementerian BUMN dalam berbagai momentum tetap menegaskan tekadnya untuk memproyeksikan TVRI sebagai salah-satu BUMN andalan pemerintah. Di sisi lain, Menegkominfo tetap membayangkan masa depan TVRI dalam skema yang telah digariskan UU Penyiaran No 32/2003, sebagai televisi publik.

Ambiguitas sikap pemerintah menimbulkan kebingungan di tingkat publik. Dalam praktek sehari-hari, TVRI beroperasi layaknya lembaga penyiaran komersial. Sulit membedakan tayangan-tayangan TVRI dengan tayangan televise swasta pada umumnya. Ada iklan komersial, musik, sinetron, kuis dan acara entertainment lainnya yang menunjukkan bahwa TVRI telah menjadi lembaga penyiaran komersial. Namun di sisi lain, media massa terus memberitakan jajaran direksi TVRI mengeluhkan minimnya subsidi dari pemerintah. Sebagai lembaga penyiaran komersial, tentu menjadi kurang relevans lagi jika TVRI masih mengharapkan subsidi maksimal dari pemerintah. Kebingungan publik semakin bertambah karena di sisi lain, unsur-unsur lembaga swadaya masyarakat masih terus menuntut transformasi TVRI menjadi televisi publik sesegera mungkin.

Kepentingan Politik

Di samping soal dualisme status TVRI di atas, pemerintah juga tidak cukup berhati-hati dalam melakukan restrukturisasi TVRI. Pencopotan Sumitha Tobing sebagai direktur utama TVRI diiikuti dengan pengangkatan direksi dan komisaris baru April 2003. Namun restrukturisasi ini mengundang kecurigaan berbagai pihak, terutama berkaitan dengan momentum Pemilu 2004. Djoko Susilo, anggota Fraksi Reformasi DPR-RI menyesalkan sangat kentalnya nuansa politik di balik perubahan komisaris dan direksi TVRI. Sejumlah komisaris dan direksi berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.

Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) mempunyai pendapat lebih keras. Dalam rapat kerja dengan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif di Gedung DPR/MPR, 26 Mei 2003, (Kompas, 28/5/2003), Effendy menegaskan, Budi Harsono harus diganti atau melepaskan jabatannya demi kepentingan nasional. Rangkap jabatan antara komisaris eksekutif TVRI dan fungsionaris Partai Golkar dianggap mengingkari perasaan publik yang menginginkan TVRI lebih mandiri dan bersih dari kepentingan-kepentingan politik di masa depan.

Kekhawatiran berbagai pihak bahwa TVRI akan diperebutkan sebagai kendaraan politik pada pemilu 2004, sesungguhnya sangat masuk akal. Bagi partai-partai politik, TVRI bagaimanapun tetap menggiurkan. Meskipun secara bisnis kalah bersaing dengan televisi swasta, TVRI mempunyai potensi politik yang sangat besar. Daya jangkau TVRI adalah yang paling luas dibandingkan dengan televisi-televisi swasta. Pengaruh TVRI di wilayah pedalaman, di mana siaran televisi swasta belum sepenuhnya dapat dinikmati, juga masih cukup sangat signifikans. Oleh karena itu, tak mengherankan jika TVRI tetap diperebutkan oleh para kontestan pemilu.

Di sisi lain, sulit untuk mengharapkan manajamen TVRI lebih hati-hati menghadapi tawaran kerjasama dari kalangan parpol. Setelah subsidi pemerintah menurun drastis, TVRI notabene dihadapkan pada kesulitan keuangan yang sangat serius. Pendapatan iklan sangat tidak memadahi untuk menopang biaya operasional dan maintenance TVRI (pusat dan daerah). Bagi institusi media yang terancam gulung tikar, uluran tangan kalangan parpol tak pelak akan dihadapi dengan sikap yang lebih pragmatis.

Pada titik ini, sangat dibutuhkan good will pemerintah. Secara defacto, pemerintah hingga kini memegang kontrol atas TVRI. Namun ironisnya beberapa kebijakan pemerintah belakangan justru membuka peluang bagi pelibatan TVRI secara langsung maupun tidak langsung dalam pentas politik praktis. Kasus pemecatan 2 direktur TVRI, Hari Sulistyono dan Enny Hardjanto, oleh Meneg BUMN Laksamana Sukarno beberapa waktu yang lalu sangat menarik untuk disimak. Bukan hanya karena keduanya adalah profesional yang sesungguhnya sangat kredibel dan cukup berhasil membenahi perfoma bisnis TVRI. Namun juga karena mereka secara terbuka bicara kepada pers bahwa, selama ini memang muncul banyak tekanan dari unsur-unsur parpol besar untuk menjadikan TVRI sebagai kendaraan politik dalam pemilu 2004.

Penulis : Agus Sudibyo

“Al Jazeera” di Tengah Media Barat


Oleh: Agus Sudibyo

TAK disangkal, Al Jazeera menjadi fenomena tersendiri dalam invasi Amerika Serikat (AS) dan koalisinya ke Irak kali ini. Televisi satelit berbahasa Arab ini mengentakkan dunia dengan tayangan eksklusif tentang dampak buruk aksi bombardir ke Irak.

Ketika media-media Barat notabene mereduksi diskursus perang semata-mata sebagai display kecanggihan senjata mutakhir dan taktik militer modern Barat, Al Jazeera menayangkan gambaran nyata dari perang yang sedang berkobar: permukiman sipil porak-poranda, anak-anak terluka dan trauma, serta ratusan orang mati mengenaskan.

Ini bukan kali pertama Al Jazeera “mempermalukan” media Barat. Oktober 2002, ia menjadi satu-satunya media yang mewawancarai Osama bin Laden. Sementara pers Barat, entah karena tidak ada akses atau karena soal ideologis, melaporkan perang di Afganistan hanya berdasar informasi dan data pasukan koalisi.

Lebih fenomenal lagi, Al Jazeera lahir dan berkembang di Arab. Sebuah wilayah dengan rezim yang sudah lama dikenal tidak ramah terhadap kebebasan pers dan kemerdekaan berbicara. Al Jazeera berdiri tahun 1996 di Doha, Qatar. Hingga 2001, televisi ini didanai penguasa Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani. Terlepas dari fakta-fakta itu, beberapa hal ikut menunjang popularitas Al Jazeera belakangan ini.

OKTOBER 2001, Pemerintahan Bush meminta Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani menggunakan pengaruhnya untuk menekan tensi pemberitaan Al Jazeera (Permintaan sama juga disampaikan Pemerintahan Clinton). Ini adalah puncak kegeraman Pemerintah AS atas Al Jazeera. Sebelumnya, duta besar AS untuk Qatar telah beberapa kali mengajukan komplain diplomatik atas Pemerintah Qatar sehubungan pemberitaan Al Jazeera yang dituduh menyebarkan pandangan anti-Amerika dengan banyak mengkritik kebijakan AS di Timur Tengah, serta menjadi alat propaganda Osama bin Laden.

Menurut Peter Arnett, mantan koresponden CNN yang banyak dikritik Pemerintah AS karena liputannya tentang Perang Teluk, tekanan-tekanan diplomatik itu dipicu oleh kecemasan meningkatnya kritisisme atas AS di Timur Tengah. Ini terjadi justru saat AS sedang membutuhkan dukungan publik Timur Tengah atas aneka kebijakannya di wilayah ini.

Faktor inilah yang membuat Al Jazeera kian populer dan kuat, khususnya di mata publik Arab. Al Jazeera menjadi simbol kritik dan ketidakpuasan publik Arab atas kebijakan politik AS di Timur Tengah yang eksploitatif dan memecah belah.

Muncul pertanyaan, sejauh mana Al Jazeera membawa sensibilitas publik Arab? Sejauhmana Al Jazeera kritis terhadap realitas politik dunia Arab?

Pandangan kritis dalam ranah studi media meniscayakan terjadinya pemihakan media atas dasar ideologi dan nilai-nilai tertentu. Sulit mengharapkan media atau jurnalis benar-benar netral dalam melihat suatu konflik karena ideologi adalah sesuatu yang inheren dalam tiap individu, tanpa terkecuali individu media.

Al Jazeera sedikit banyak tetap mewakili sensibilitas publik Timur Tengah, seperti media Barat tak pernah bisa berhasil melepaskan “kesadaran kolektifnya” sebagai orang Barat.

Ada fakta menarik. Bukan hanya Pemerintah AS yang tidak suka atas Al Jazeera, namun juga rezim-rezim di Timur Tengah sendiri. Pemerintah Arab Saudi tak pernah mengizinkan Al Jazeera membuka perwakilannya di negara itu, juga dengan penguasa Bahrain. Pemerintah Yordania dan Kuwait mengusir perwakilan Al Jazeera tahun lalu (Top Arab TV Network to Hit US Market, Camerron W Barr, The Christian Science Monitor, 26/12/2002).

Mungkin karena negara-negara itu sekutu AS yang merasa “bertanggung jawab” menjaga citra dan kepentingan AS di Timur Tengah. Namun bagaimana menjelaskan kemarahan dua musuh utama AS: Syria dan Libya atas Al Jazeera? Juga tindakan Yasser Arafat beberapa kali mengusir koresponden Al Jazeera dari Ramallah?

Sebuah indikasi, Al Jazeera tidak menunjukkan keberpihakan atas Arab. Ia bukan hanya watchdog kepentingan politik Barat di Timur Tengah, namun juga bagi seluruh rezim di Arab. Al Jazeera sejauh ini konsisten menyoroti realitas penyelenggaraan kekuasaan di dunia Arab dengan gaya pemberitaannya yang lugas dan terang-terangan. Satu hal yang masih perlu dibuktikan: independensi Al Jazeera terhadap Pemerintahan Qatar.

TANGGAL 13 Februari 1991, dua bom sekutu merusak distrik Ameriyya, dekat Baghdad. Lebih dari 1.600 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, tewas dalam pengeboman yang salah sasaran. Melalui televisi, aksi brutal ini menyebar ke seluruh dunia. Apa yang lalu terjadi dengan media Barat sungguh mencengangkan. Mereka marah bukan karena banyak korban sipil tewas, namun karena ada media Barat memberitakan. Kemarahan bukan tertuju pada pasukan AS dan sekutunya, namun kepada media-media yang memberitakan.

The Mail on Sunday mengatakan, pemberitaan itu bukan hanya “menjijikkan” namun juga “tak terpuji”. Today menegaskan, koresponden yang melaporkan peristiwa itu telah memalukan negeri sendiri. The Express menyatakan, “menangisi korban-korban dari pihak musuh yang tak terelakkan sama saja dengan merusak dukungan terhadap perang.”

Apa yang terjadi pada media-media itu? Mereka mencampuradukkan patriotisme dengan dukungan tanpa reserve atas ambisi pemerintah guna menundukkan negara lain.

Lebih dari itu, media-media Barat terjebak skenario militer tentang bagaimana perang harus diberitakan dan dipahami publik. Perang Vietnam menjadi pelajaran berharga bagi AS dan sekutunya.

Maka prioritas militer adalah bagaimana membatasi akses pers ke sebuah perang, lalu memanfaatkannya untuk menyebarkan image baru tentang perang modern. Dikampanyekan, teknologi perang terbaru telah ditemukan dan mempunyai kapasitas untuk mengeliminir sebanyak mungkin dampak buruk perang atas masyarakat sipil. Dengan teknologi baru itu target-target militer berhasil dilumpuhkan dalam sekejap, tanpa mengusik target sipil.

Di sinilah muncul starwars syndrom. Kecenderungan untuk menggiring diskursus tentang perang semata-mata sebagai perbincangan tentang kecanggihan strategi perang modern, persenjataan mutakhir, high-tech armament. Tak ada diskursus tentang perang fisik, konfrontasi dengan segala dampaknya yang mengerikan.

Larut dalam starwars syndrom, pers Barat kehilangan daya kritisnya terhadap sumber militer. Tidak ada kritik yang memadai saat Pentagon dengan gegabah mengklaim 98 persen rudal tomahawks yang ditembakkan pasukan AS dalam perang tahun 1991 tepat sasaran.

Juga saat Jenderal Norman Schwarzkopf mengatakan, tingkat keberhasilan rudal patriot menghalau rudal scuds mencapai 100 persen. Klaim- klaim yang melecehkan akal sehat dan tak terbukti kebenarannya di kemudian hari (Philip Knightley, 2000: 493-500).

Berapa korban yang jatuh, seberapa besar kerusakan yang terjadi, dan berapa kerugian akibat ratusan rudal dan misil yang digunakan pasukan sekutu dalam perang Teluk? Media Barat tak tertarik memberitakannya.

Hal yang sama terjadi hari-hari ini. Pemberitaan media AS, seperti CNN, MSNBC, CNBC, dan Fox News amat tak memadai karena hanya terfokus display pasukan sekutu yang mengepung Irak dari segala penjuru. Di layar televisi, kita hanya bisa menyaksikan pasukan sekutu yang sedang berlatih, membersihkan senjata, atau bergerak di tengah gurun pasir dengan image kebesarannya. Tak ada gambaran tentang perang yang sebenarnya.

Di sinilah keberadaan Al Jazeera menjadi amat penting. Ia memotret perang dari sisi korban. Ia tak hanya berbicara mengapa perang harus dilakukan, senjata apa yang digunakan, namun terutama dampak-dampak buruk perang itu sendiri bagi perikemanusiaan.

Liputan-liputan Al Jazeera tentang tragedi kemanusiaan di Irak akibat aksi bombardir pasukan sekutu, dengan sendirinya meruntuhkan mitos tentang starwars, high-tech armament, smart bom, dan mitos lain yang selama ini begitu mendominasi pemberitaan media Barat. Tanpa mengesampingkan sensibilitas Arab yang diusungnya, Al Jazeera menjadi jendela bagi masyarakat internasional untuk mengetahui perang tetaplah perang. Bahwa perang pertama-tama adalah urusan baku bunuh dengan kekerasan.

Yang tak kalah penting, Al Jazeera menjadi saksi betapa gemarnya media-media Barat melakukan rekayasa dan kebohongan atas nama patriotisme yang sempit.

Agus Sudibyo