Jumat, 18 Desember 2009

Masa Depan TVRI dan Pragmatisme Politik


Oleh: Agus Sudibyo

Dua puluh empat Agustus 2004, Televisi Republik Indonesia (TVRI) akan berulang tahun ke 42. Namun ini bukan saat yang tepat untuk merayakannya dengan perayaan yang gegap-gempita. Kita justru perlu merenung dan prihatin karena hingga sekarang belum jelas benar mau dibawa kemana masa depan stasiun televisi tertua dan terbesar di Indonesia itu, di tengah pertumbuhan stasiun televisi swasta komersial yang begitu dramatis belakangan ini.

Membaca sejarah TVRI adalah membaca institusi publik yang senantiasa rentan terhadap intervensi politik. Tarik-menarik kepentingan yang melibatkan kekuatan-kekuatan politik dominan, senantiasa membatasi ruang-gerak TVRI untuk menjadi lembaga penyiaran yang benar-benar mengabdi kepada kemaslahatan publik. Di era Orde Lama, TVRI adalah perangkat propaganda untuk menopang nasionalisme dan demokrasi terpimpin ala Soekarno. Di era Orde Baru, TVRI adalah perangkat politik untuk memaksakan konsensus-konsensus nasional tentang pembangunan, stabilitas politik dan persatuan bangsa yang banyak menguntungkan Golongan Karya sebagai the ruling party.

Status TVRI

Bagaimana nasib TVRI pasca reformasi 1998? TVRI sejauh ini masih tetap teralienasi dari fungsi-fungsi ideal sebuah lembaga penyiaran milik masyarakat. Problem utama TVRI adalah belum adanya ithikad baik dari pemerintah untuk melepaskan TVRI dari beban-beban politik dan beban-beban ekonomi, yang tidak semestinya dilimpahkan kepada lembaga penyiaran milik masyarakat.

Selain itu, sulit mengharapkan reformasi dan reposisi dalam tubuh TVRI karena pemerintah sebagai pemegang kontrol atas institusi tersebut menunjukkan sikap yang ambigu dan inkonsisten. Dapat dilihat misalnya, berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan status dan manajemen TVRI beberapa tahun terakhir saling tumpang-tindih dan justru menciptakan konflik-konflik baru antar berbagai lembaga dan kelompok masyarakat yang merasa berkepentingan terhadap masa depan TVRI.

Pasca pergantian kekuasaan 1998, ada upaya-upaya untuk mengubah TVRI menjadi lebih provit oriented. Perubahan ini dianggap tak terelakkan karena TVRI tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada subsidi pemerintah dan harus bisa bersaing dengan televisi swasta. Dalam kerangka inilah, 16 April 2003, Pemerintah meresmikan perubahan status TVRI dari perusahaan jawatan (perjan) menjadi perseroan terbatas (PT). Keputusan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 9/2002 tentang pengalihan status TVRI dari perusahaan jawatan menjadi Perusahaan Perseroan (perseroan terbatas).

Persoalan serius muncul kemudian, ketika UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 (pasal 14) secara tegas menetapkan status TVRI (dan RRI) sebagai lembaga penyiaran publik. Merujuk pada klausul ini, TVRI sebagai lembaga penyiaran publik seharusnya berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Perubahan status menjadi perseroan terbatas dengan demikian bertentangan dengan proyeksi TVRI sebagai lembaga penyiaran publik.

Status perseroan terbatas akan menimbulkan banyak konsekuensi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip lembaga penyiaran publik. TVRI mau tak mau akan berorientasi pasar, dengan konsekuensi harus menonjolkan tayangan-tayangan yang dapat menghasilkan rating tinggi, menarik iklan sebanyak-banyaknya, serta menghasilkan akumulasi modal secepat mungkin. Ketika TVRI sepenuhnya bersandar pada pendapatan iklan, kepentingan-kepentingan yang berbasis publik dan komunitas tak akan mendapatkan prioritas memadahi.

Pemerintah meloloskan dua kebijakan yang saling bertentangan dalam mengatur status TVRI. Dan semakin sulit dipahami bahwa pemerintah terkesan membiarkan dualisme status TVRI ini berlarut-larut. Kementerian BUMN dalam berbagai momentum tetap menegaskan tekadnya untuk memproyeksikan TVRI sebagai salah-satu BUMN andalan pemerintah. Di sisi lain, Menegkominfo tetap membayangkan masa depan TVRI dalam skema yang telah digariskan UU Penyiaran No 32/2003, sebagai televisi publik.

Ambiguitas sikap pemerintah menimbulkan kebingungan di tingkat publik. Dalam praktek sehari-hari, TVRI beroperasi layaknya lembaga penyiaran komersial. Sulit membedakan tayangan-tayangan TVRI dengan tayangan televise swasta pada umumnya. Ada iklan komersial, musik, sinetron, kuis dan acara entertainment lainnya yang menunjukkan bahwa TVRI telah menjadi lembaga penyiaran komersial. Namun di sisi lain, media massa terus memberitakan jajaran direksi TVRI mengeluhkan minimnya subsidi dari pemerintah. Sebagai lembaga penyiaran komersial, tentu menjadi kurang relevans lagi jika TVRI masih mengharapkan subsidi maksimal dari pemerintah. Kebingungan publik semakin bertambah karena di sisi lain, unsur-unsur lembaga swadaya masyarakat masih terus menuntut transformasi TVRI menjadi televisi publik sesegera mungkin.

Kepentingan Politik

Di samping soal dualisme status TVRI di atas, pemerintah juga tidak cukup berhati-hati dalam melakukan restrukturisasi TVRI. Pencopotan Sumitha Tobing sebagai direktur utama TVRI diiikuti dengan pengangkatan direksi dan komisaris baru April 2003. Namun restrukturisasi ini mengundang kecurigaan berbagai pihak, terutama berkaitan dengan momentum Pemilu 2004. Djoko Susilo, anggota Fraksi Reformasi DPR-RI menyesalkan sangat kentalnya nuansa politik di balik perubahan komisaris dan direksi TVRI. Sejumlah komisaris dan direksi berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.

Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) mempunyai pendapat lebih keras. Dalam rapat kerja dengan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif di Gedung DPR/MPR, 26 Mei 2003, (Kompas, 28/5/2003), Effendy menegaskan, Budi Harsono harus diganti atau melepaskan jabatannya demi kepentingan nasional. Rangkap jabatan antara komisaris eksekutif TVRI dan fungsionaris Partai Golkar dianggap mengingkari perasaan publik yang menginginkan TVRI lebih mandiri dan bersih dari kepentingan-kepentingan politik di masa depan.

Kekhawatiran berbagai pihak bahwa TVRI akan diperebutkan sebagai kendaraan politik pada pemilu 2004, sesungguhnya sangat masuk akal. Bagi partai-partai politik, TVRI bagaimanapun tetap menggiurkan. Meskipun secara bisnis kalah bersaing dengan televisi swasta, TVRI mempunyai potensi politik yang sangat besar. Daya jangkau TVRI adalah yang paling luas dibandingkan dengan televisi-televisi swasta. Pengaruh TVRI di wilayah pedalaman, di mana siaran televisi swasta belum sepenuhnya dapat dinikmati, juga masih cukup sangat signifikans. Oleh karena itu, tak mengherankan jika TVRI tetap diperebutkan oleh para kontestan pemilu.

Di sisi lain, sulit untuk mengharapkan manajamen TVRI lebih hati-hati menghadapi tawaran kerjasama dari kalangan parpol. Setelah subsidi pemerintah menurun drastis, TVRI notabene dihadapkan pada kesulitan keuangan yang sangat serius. Pendapatan iklan sangat tidak memadahi untuk menopang biaya operasional dan maintenance TVRI (pusat dan daerah). Bagi institusi media yang terancam gulung tikar, uluran tangan kalangan parpol tak pelak akan dihadapi dengan sikap yang lebih pragmatis.

Pada titik ini, sangat dibutuhkan good will pemerintah. Secara defacto, pemerintah hingga kini memegang kontrol atas TVRI. Namun ironisnya beberapa kebijakan pemerintah belakangan justru membuka peluang bagi pelibatan TVRI secara langsung maupun tidak langsung dalam pentas politik praktis. Kasus pemecatan 2 direktur TVRI, Hari Sulistyono dan Enny Hardjanto, oleh Meneg BUMN Laksamana Sukarno beberapa waktu yang lalu sangat menarik untuk disimak. Bukan hanya karena keduanya adalah profesional yang sesungguhnya sangat kredibel dan cukup berhasil membenahi perfoma bisnis TVRI. Namun juga karena mereka secara terbuka bicara kepada pers bahwa, selama ini memang muncul banyak tekanan dari unsur-unsur parpol besar untuk menjadikan TVRI sebagai kendaraan politik dalam pemilu 2004.

Penulis : Agus Sudibyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar